Luka Demokrasi

Seorang rakyat berdiri sendiri di ruang sidang kosong, dengan lukisan demokrasi yang retak dan kursi berdebu yang melambangkan ketimpangan kekuasaan
Ilustrasi "Demokrasi yang tercabik, oleh ketidakadilan, pengkhianatan dan suara rakyat yang diabaikan

 

Demokrasi, lukisan indah di dinding bangsa,

digores dengan warna-warna harapan.

Namun kini, goresannya retak,

dan warnanya pudar,

terhapus oleh tangan-tangan rakus

yang mengaku pelindungnya.


“Kami bekerja untuk rakyat,”

teriak mereka dari podium megah,

namun langkah kaki mereka

selalu menuju ruang pribadi,

di mana keadilan hanya permainan angka,

dan suara rakyat hanyalah gema

di lorong-lorong kosong parlemen.


Demokrasi pernah hidup,

berdansa di tengah rakyat yang percaya.

Kini ia terbaring lemah,

dihisap oleh janji-janji yang tak pernah tiba,

dan pengkhianatan yang menyamar

menjadi kebijakan.


Ketidakadilan berdiri,

bermahkota kertas suara,

tertawa di atas reruntuhan hukum,

memutar roda sistem

yang hanya berpihak pada yang kaya.

Ia berkata,

“Demokrasi adalah pesta,

tapi hanya untuk mereka yang punya undangan.”


Di jalanan, rakyat berteriak,

namun suaranya tenggelam

oleh hiruk-pikuk kuasa.

Di ruang sidang,

keputusan adalah sandiwara,

dan keadilan,

adalah kursi kosong yang berdebu.


Luka demokrasi menganga,

meneteskan darah dari setiap janji yang dilanggar.

Rakyat hanya bisa bertanya:

“Apakah kami memilih untuk ini?

Apakah suara kami hanya angka,

yang dilupakan setelah dihitung?”


Demokrasi,

lukisan yang rusak,

menunggu tangan yang berani,

untuk membersihkan noda,

untuk mengembalikan warnanya,

sebelum dinding itu runtuh,

dan harapan hilang selamanya.

Komentar